![]() |
| doc: Malang Post |
Awal
saya tahu tentang Velodrom adalah dari plang
atau papan nama berwarna hijau penunjuk arah yang berada di pinggir jalan
menuju arah Lapangan Rampal, karena menurut saya namanya sangat unik dan
berbau-bau masa kolonial, maka saya mencoba untuk mencari tahu melalui google,
dan saat saya mengetikkan keyword Velodrom Malang terdapat
sekitar 37.400 pencarian yang berhasil ditemukan, dan saya tertuju kepada
sebuah artikel yang berada di urutan ke 9, dengan judul Pasar Buku
Velodrom: Lokasi asyik bagi pecinta buku antik.
Karena artikel yang saya baca kurang
memenuhi informasi yang saya inginkan, maka saya mencoba mencari-cari artikel
serupa dengan keyword yang berbeda
yaitu Toko Buku Velodrom Malang dan sekitar 1.020 artikel
berhasil ditemukan oleh mesin pencarian. Lalu saya membaca keseluruhan artikel
yang berada di halaman pertama mesin pencarian google.
Sekitar
4-5 artikel yang berhasil saya baca dan beberapa foto yang memamerkan bagaimana
keadaan Toko Buku Velodrom semakin membuat saya penasaran dan berekspektasi
berlebihan tentang tempat itu. Keseluruhan artikel yang saya baca
seolah-olah menggambarkan tentang “keunikan” yang ada di toko buku tersebut.
Saat saya baca-baca artikel yang ada di
pikiran saya adalah jejeran toko buku dengan buku-buku antik yang di display semenarik
mungkin yang berada di sebuah gedung bangunan tua atau sebuah stadion yang
masih menyisakan kesan peninggalan zaman kolonialismenya. Seketika saya
berpikiran bahwa saya harus kesana sekarang juga. Tapi benar kata orang-orang
kekinian,
“Jangan berharap berlebihan, kalau
kenyataan gak sesuai harapan bisa-bisa bikin sakit hati ” .
Tepatnya
hari Kamis sekitar pukul 13.00 WIB, saya mencoba mendatangi tempat yang sudah ingin
dikunjungi sejak lama. Perjalanan menuju kesana, kurang lebih memakan waktu
sekitar 45 menit dari tempat saya tinggal. Berbekal keahlian membaca gps
yang minim dan bertanya kepada lebih dari 3 orang akhirnya saya menemukan plang bertuliskan Toko Buku
Velodrom, seketika saya langsung bahagia dan berkata dalam hati, “Aku
bangga sama kamu hes..” .
Setelah sampai di depan tempat yang katanya
toko buku itu, saya terdiam sejenak mengamati kenyataan yang ada di tempat saya
berdiri. Disana pada saat itu, banyak anak-anak remaja tanggung yang memakai
seragam SMA dan SMP sedang bercengkrama dengan teman-temannya, mereka tertawa
terbahak menertawakan hidup mereka yang selaw mungkin, dengan
segelas es nutrisari yang mereka pesan di warung-warung yang ada di depan toko
buku itu. Selain itu adalah suasana sejuk, lembap dan segala macam keadaan yang
kalian akan rasakan kalau berada di tengah hutan, iya hutan. Ternyata toko buku
yang ada dalam pikiran saya lebih bagus daripada toko buku yang sekarang saya
lihat.
Terletak
di pinggiran kota Malang, sebenarya Velodrom adalah sebuah tempat yang
dikhususkan bagi pesepeda-pesepeda untuk menjajal kebolehannya dalam balap
sepeda, selain itu kalau tidak salah velodrom di Malang adalah salah satu dari
dua velodrom yang ada di Indonesia.
Kembali ke cerita tentang toko buku.
Pertama kali yang bisa saya gambarkan dari toko buku ini adalah suasana suram,
kesunyian yang berasal dari pohon-pohon besar yang ada di depan jejeran toko
buku, banyaknya kios-kios yang tutup dan para pedagang yang menjaga tokonya
dengan ogah-ogahan karena sepi pembeli dan mungkin saja mereka jenuh setiap hari
harus menunggui toko buku mereka dan mencium aroma buku-buku lama yang baunya
tak lebih enak daripada bau walang sangit.
Buku-buku di Velodrome adalah buku-buku
lama, tetapi ada sebagian buku-buku baru juga yang dijual. Meskipun jumlahnya
tak lebih banyak dari buku-buku lama. Berbagai macam genre buku dijual di sana, mulai dari religi, anak-anak, dewasa,
buku memasak dan lain sebagainya.
Walaupun
jauh dari ekspektasi yang terbentuk akibat artikel-artikel yang entahlah itu, akhirnya
saya memutuskan untuk tetap berkeliling dan meliht-lihat ke jejeran toko buku
yang ada di sana. Hanya ada beberapa toko saja yang buka, lengkap dengan
penjualnya yang tetap setia menunggui pembelinya.
“Mau cari buku apa mbak?” ucap salah seorang
pembeli kepada ku, “Emm, saya mau lihat-lihat dulu,” jawaban klasik yang keluar
dari mulutku. Setelah berbincang beberapa menit dengan si penjual buku, saya
baru tahu ternyata toko buku ini adalah hasil dari relokasi toko buku yang
sebelumnya berada di daerah sekitar Stasiun Malang Kota Baru, para pedagang
direlokasi karena pada saat itu, tujuh tahun yang lalu pemerintah kota Malang
akan mengikuti lomba Adipura dan oleh sebab itu pemerintah menginginkan para
pedagang kaki lima untuk hengkang dari pinggiraan jalan agar kota terlihat
bersih dan rapi.
Tujuh tahun lalu, para pedagang diberikan
janji untuk pindah ke tempat yang lebih layak, benar memang tempat yang mereka
gunakan sekarang lebih layak daripada harus berjualan di pinggir jalan sebagai
pedagang kaki lima dan harus kucing-kucingan dengan satpol PP, tapi satu hal
yang menurut saya miris adalah para pedagang buku-buku antik itu dipindahkan ke
sebuah tempat yang sepi, tepatnya pinggiran kota Malang.
Yang menggelitik saya saat berbincang
dengan salah seorang pedagang adalah, dia sempat mengatakan “ Orang Malang asli
saja ada yang kesusahan cari tempat buku ini. Kami selalu jadi opsi terakhir
untuk orang-orang yang sedang mencari buku bekas padahal kualitas buku kita
tidak kalah dengan buku-buku yang ada di Wilis, tapi memang sih mana ada orang
yang mau cari buku di tengah hutan.”
Kenyataan memang terkadang
lucu. Anggap saja pemerintah adalah seorang ibu, sedangkan toko buku Wilis dan
toko buku Velodrom adalah anaknya. Namun perlakuan sang ibu kepada kedua
anaknya ini sangatlah berbeda, Wilis mendapatkan perlakuan manis dari sang ibu,
dimanja, diberikan ruang terbuka untuk mengekspersikan dirinya sedangkan
Velodrom di anak tirikan, dikucilkan, diberi ruang terbuka namun berada di
tengah hutan yang dikelilingi pohon-pohon besar.
Dan pada akhirnya ini semua tentang
ekspektasi dan realita, ini semua tentang sudut pandang dari masing-masing
orang yang berbeda. Kalau disuruh menilai apakah toko buku velodrom mengasyikan
bagi pecinta buku-buku antik dan komik-komik bekas? Saya rasa jawabannya adalah
saya harus bergabung dulu dengan para remaja tanggung yang sedang minum es
nutrisari di warung tenda yang atapnya sudah bolong-bolong dimakan cuaca.
Ps: tulisan ini ditulis pada tahun 2016, saat penulis mengunjungi Velodrome.
Ps: tulisan ini ditulis pada tahun 2016, saat penulis mengunjungi Velodrome.

Tidak ada komentar:
Posting Komentar