Kamis, 05 April 2018

Velodrome: Toko Buku di Tengah Hutan

doc: Malang Post
Perjalanan untuk menuju ke tempat yang akan saya jadikan “Tokoh Utama” dalam cerita ini tidak susah namun juga tidak gampang. Bagi pengendara motor seperti saya yang bukan warga asli kota Malang, untuk menemukan letak pasti tempat ini cukup memakan waktu, namun karena rasa penasaran terhadap tempat ini sudah mencapai klimaksnya, siang itu saya nekat untuk mencari tempat yang sudah banyak dikenal dan di review  oleh banyak orang di dunia maya. Yup! Toko Buku dan Seni Velodrom, Malang.
         Awal saya tahu tentang Velodrom adalah dari plang atau papan nama berwarna hijau penunjuk arah yang berada di pinggir jalan menuju arah Lapangan Rampal, karena menurut saya namanya sangat unik dan berbau-bau masa kolonial, maka saya mencoba untuk mencari tahu melalui google, dan saat saya mengetikkan keyword Velodrom Malang terdapat sekitar 37.400 pencarian yang berhasil ditemukan, dan saya tertuju kepada sebuah artikel yang berada di urutan ke 9, dengan judul Pasar Buku Velodrom: Lokasi asyik bagi pecinta buku antik
Karena artikel yang saya baca kurang memenuhi informasi yang saya inginkan, maka saya mencoba mencari-cari artikel serupa dengan keyword yang berbeda yaitu Toko Buku Velodrom Malang dan sekitar 1.020 artikel berhasil ditemukan oleh mesin pencarian. Lalu saya membaca keseluruhan artikel yang berada di halaman pertama mesin pencarian google.
      Sekitar 4-5 artikel yang berhasil saya baca dan beberapa foto yang memamerkan bagaimana keadaan Toko Buku Velodrom semakin membuat saya penasaran dan berekspektasi berlebihan tentang tempat itu.  Keseluruhan artikel yang saya baca seolah-olah menggambarkan tentang “keunikan” yang ada di toko buku tersebut.
 Saat saya baca-baca artikel yang ada di pikiran saya adalah jejeran toko buku dengan buku-buku antik yang di display semenarik mungkin yang berada di sebuah gedung bangunan tua atau sebuah stadion yang masih menyisakan kesan peninggalan zaman kolonialismenya. Seketika saya berpikiran bahwa saya harus kesana sekarang juga. Tapi benar kata orang-orang kekinian,

Jangan berharap berlebihan, kalau kenyataan gak sesuai harapan bisa-bisa bikin sakit hati ” . 

        Tepatnya hari Kamis sekitar pukul 13.00 WIB, saya mencoba mendatangi tempat yang sudah ingin dikunjungi sejak lama. Perjalanan menuju kesana, kurang lebih memakan waktu sekitar 45 menit dari tempat saya tinggal. Berbekal keahlian membaca gps  yang minim dan bertanya kepada lebih dari 3 orang akhirnya saya menemukan plang bertuliskan Toko Buku Velodrom, seketika saya langsung bahagia dan berkata dalam hati, “Aku bangga sama kamu hes..” .
Setelah sampai di depan tempat yang katanya toko buku itu, saya terdiam sejenak mengamati kenyataan yang ada di tempat saya berdiri. Disana pada saat itu, banyak anak-anak remaja tanggung yang memakai seragam SMA dan SMP sedang bercengkrama dengan teman-temannya, mereka tertawa terbahak menertawakan hidup mereka yang selaw mungkin, dengan segelas es nutrisari yang mereka pesan di warung-warung yang ada di depan toko buku itu. Selain itu adalah suasana sejuk, lembap dan segala macam keadaan yang kalian akan rasakan kalau berada di tengah hutan, iya hutan. Ternyata toko buku yang ada dalam pikiran saya lebih bagus daripada toko buku yang sekarang saya lihat. 
       Terletak di pinggiran kota Malang, sebenarya Velodrom adalah sebuah tempat yang dikhususkan bagi pesepeda-pesepeda untuk menjajal kebolehannya dalam balap sepeda, selain itu kalau tidak salah velodrom di Malang adalah salah satu dari dua velodrom yang ada di Indonesia.
Kembali ke cerita tentang toko buku. Pertama kali yang bisa saya gambarkan dari toko buku ini adalah suasana suram, kesunyian yang berasal dari pohon-pohon besar yang ada di depan jejeran toko buku, banyaknya kios-kios yang tutup dan para pedagang yang menjaga tokonya dengan ogah-ogahan karena sepi pembeli dan mungkin saja mereka jenuh setiap hari harus menunggui toko buku mereka dan mencium aroma buku-buku lama yang baunya tak lebih enak daripada bau walang sangit.
Buku-buku di Velodrome adalah buku-buku lama, tetapi ada sebagian buku-buku baru juga yang dijual. Meskipun jumlahnya tak lebih banyak dari buku-buku lama. Berbagai macam genre buku dijual di sana, mulai dari religi, anak-anak, dewasa, buku memasak dan lain sebagainya.
         Walaupun jauh dari ekspektasi yang terbentuk akibat artikel-artikel yang entahlah itu, akhirnya saya memutuskan untuk tetap berkeliling dan meliht-lihat ke jejeran toko buku yang ada di sana. Hanya ada beberapa toko saja yang buka, lengkap dengan penjualnya yang tetap setia menunggui pembelinya.
 “Mau cari buku apa mbak?” ucap salah seorang pembeli kepada ku, “Emm, saya mau lihat-lihat dulu,” jawaban klasik yang keluar dari mulutku. Setelah berbincang beberapa menit dengan si penjual buku, saya baru tahu ternyata toko buku ini adalah hasil dari relokasi toko buku yang sebelumnya berada di daerah sekitar Stasiun Malang Kota Baru, para pedagang direlokasi karena pada saat itu, tujuh tahun yang lalu pemerintah kota Malang akan mengikuti lomba Adipura dan oleh sebab itu pemerintah menginginkan para pedagang kaki lima untuk hengkang dari pinggiraan jalan agar kota terlihat bersih dan rapi.
Tujuh tahun lalu, para pedagang diberikan janji untuk pindah ke tempat yang lebih layak, benar memang tempat yang mereka gunakan sekarang lebih layak daripada harus berjualan di pinggir jalan sebagai pedagang kaki lima dan harus kucing-kucingan dengan satpol PP, tapi satu hal yang menurut saya miris adalah para pedagang buku-buku antik itu dipindahkan ke sebuah tempat yang sepi, tepatnya pinggiran kota Malang.
Yang menggelitik saya saat berbincang dengan salah seorang pedagang adalah, dia sempat mengatakan “ Orang Malang asli saja ada yang kesusahan cari tempat buku ini. Kami selalu jadi opsi terakhir untuk orang-orang yang sedang mencari buku bekas padahal kualitas buku kita tidak kalah dengan buku-buku yang ada di Wilis, tapi memang sih mana ada orang yang mau cari buku di tengah hutan.”
      Kenyataan memang terkadang lucu. Anggap saja pemerintah adalah seorang ibu, sedangkan toko buku Wilis dan toko buku Velodrom adalah anaknya. Namun perlakuan sang ibu kepada kedua anaknya ini sangatlah berbeda, Wilis mendapatkan perlakuan manis dari sang ibu, dimanja, diberikan ruang terbuka untuk mengekspersikan dirinya sedangkan Velodrom di anak tirikan, dikucilkan, diberi ruang terbuka namun berada di tengah hutan yang dikelilingi pohon-pohon besar.

Dan pada akhirnya ini semua tentang ekspektasi dan realita, ini semua tentang sudut pandang dari masing-masing orang yang berbeda. Kalau disuruh menilai apakah toko buku velodrom mengasyikan bagi pecinta buku-buku antik dan komik-komik bekas? Saya rasa jawabannya adalah saya harus bergabung dulu dengan para remaja tanggung yang sedang minum es nutrisari di warung tenda yang atapnya sudah bolong-bolong dimakan cuaca.


 Ps: tulisan ini ditulis pada tahun 2016, saat penulis mengunjungi Velodrome.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar